Indo1.id – Ribuan perangkat desa dan kepala desa yang tergabung dalam kelompok Desa Bersatu mendeklarasikan dukungan kepada pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Indonesia Arena, Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (19/11/2023).
Aksi ini menuai kontroversi dan kritik dari berbagai pihak, yang menilai bahwa perangkat desa telah melanggar kode etik dan netralitas sebagai aparatur negara.
Apakah aksi Desa Bersatu ini merupakan wujud demokrasi tanpa etika?
Desa Bersatu adalah sebuah organisasi yang mengklaim sebagai wadah aspirasi dan komunikasi perangkat desa se-Indonesia. Menurut Asri Anas, Desa Bersatu memiliki anggota sekitar 300 ribu perangkat desa dan kepala desa dari berbagai daerah di Indonesia.
Dalam deklarasi dukungan kepada Prabowo-Gibran, Asri Anas mengatakan bahwa Desa Bersatu ingin memperjuangkan nasib dan kesejahteraan perangkat desa, yang selama ini merasa diabaikan dan tidak dihargai oleh pemerintah.
Ia juga mengatakan bahwa Prabowo-Gibran adalah pasangan yang paling cocok untuk memimpin Indonesia ke depan, karena memiliki visi dan misi yang sejalan dengan aspirasi Desa Bersatu.
Namun, aksi Desa Bersatu ini mendapat sorotan dan kecaman dari berbagai pihak, yang menilai bahwa perangkat desa telah melanggar kode etik dan netralitas sebagai aparatur negara.
Salah satu pihak yang mengkritik adalah Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), sebuah lembaga yang mengawasi jalannya pemilu di Indonesia.
Sekretaris Jenderal KIPP, Kaka Suminta, mengatakan bahwa perangkat desa tidak boleh terlibat dalam politik praktis, apalagi mendukung salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden secara terang-terangan.
“Perangkat desa itu adalah aparatur negara yang harus netral dan profesional dalam menjalankan tugasnya. Mereka tidak boleh berpihak kepada salah satu paslon, apalagi mengajak masyarakat untuk mendukung paslon tertentu. Ini jelas melanggar kode etik dan UU Pemilu. Kami mendesak Bawaslu untuk segera menindak tegas pelanggaran ini,” kata Kaka Suminta. Selasa, 21 November 2023.
Selain KIPP, kritik juga datang dari Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, sebuah lembaga yang bergerak di bidang demokrasi dan pemilu.
Menurut Neni, aksi Desa Bersatu adalah wujud demokrasi tanpa etika, yang merusak nilai-nilai demokrasi dan mengancam hak-hak politik masyarakat.