Indo1.id – Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau di timur Indonesia.
Ia adalah mahakarya alam: tempat pertemuan samudera yang memelihara lebih dari 75% spesies koral dunia, rumah bagi pari manta, hiu karang, dan komunitas adat yang menjaga harmoni laut dan hutan.
Namun kini, surga itu dirobek oleh ambisi yang membabi buta: pertambangan nikel.
Kita tak sedang membicarakan eksploitasi biasa.
Kita bicara tentang penghancuran kawasan geopark global, pencemaran ekosistem laut, dan pengabaian terhadap hak masyarakat adat yang telah turun-temurun hidup berdampingan
dengan alam. Ironisnya, semua atas nama transisi energi hijau dunia.
Pemerintah berdalih bahwa nikel dari Raja Ampat mendukung ekosistem mobil listrik dunia.
Tesla, Toyota, BYD, semua disebut. Tapi pertanyaannya: transisi energi untuk siapa? Bagi masyarakat adat di Waigeo Barat, yang kini kesulitan air bersih dan kehilangan hasil laut, narasi itu terdengar seperti satire.
Ketika lebih dari 494 hektar hutan dirusak, dan endapan lumpur mengaburkan laut yang dulunya sebening kristal, kita tak bisa lagi menyebut ini sebagai “pengembangan.”
Ini adalah penjarahan sistematis, di negeri sendiri, atas nama pasar global.
Pencabutan Izin Hanyalah Langkah Awal, Bukan Kemenangan
Pencabutan izin empat perusahaan tambang di awal Juni 2025 oleh Presiden adalah kabar baik — tapi terlalu lambat, dan tidak cukup.
Perusahaan seperti PT Gag Nikel masih bebas beroperasi, dengan alasan administratif:
“berada di luar kawasan Geopark.” Apakah batas hukum lebih penting dari batas nurani?
Pengawasan lingkungan lemah, audit ekologi tidak dijalankan secara menyeluruh, dan tambang-tambang yang sudah merusak belum melakukan pemulihan.
Kita bertanya: di mana keadilan ekologis? Siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan yang telah terjadi?
Suara Adat, Bukan Sekadar Formalitas
Fenomena sosial yang terjadi di Raja Ampat saat ini adalah penghapusan perlahan terhadap kedaulatan masyarakat adat.
Mereka dianggap penghambat investasi, bukan penjaga bumi. Padahal, siapa yang menjaga hutan, laut, dan terumbu karang sebelum izin tambang diteken?
Konflik sosial mulai muncul. Antara yang setuju dan menolak tambang, antara pendatang dan warga lokal.
Semua karena pendekatan pemerintah dan investor yang tidak partisipatif, yang lebih memilih bicara angka daripada mendengar suara rakyat.
Raja Ampat harus menjadi titik balik, bukan titik runtuh. Jika kita mengaku mencintai alam, jika kita bangga menyebut Indonesia “megabiodiversitas,” maka saat ini adalah saatnya kita bersikap.
dan menyerukan: