Membangun sistem Perwakilan yang merepresentasikan Kekuatan Bangsa
Mencermati lembaga negara yang ada di dalam UUD 1945, hanya MPR saja bersifat khas Indonesia. Lima lainnya berasal dari cetak biru kelembagaan dari zaman Hindia Belanda.
Ada beberapa hal menarik terkait ide atau gagasan dalam membentuk MPR, yaitu pertama, bahwa MPR sebagai lembaga yang merupakan penjelmaan rakyat Indonesia karena di dalamnya terdiri dari semua komponen bangsa yang mewakili perwakilan politik, daerah dan fungsional (golongan). Oleh karenanya MPR bukan dari hasil meniru kelembagaan negara yang ada di negara-negara barat tetapi melihat realitas keindonesiaan yang begitu majemuk, maka di situlah apa yang menjadi intisari dari Pancasila yang menurut Soekarno, konsep Gotong royong dapat diwujudkan dalam membahas semua persoalan kebangsaan, sejalan dengan konsep demokrasi konsensus. Kedua, MPR sebagai penjelmaan rakyat Indonesia, maka fungsinya sangat fundamental dalam kontek penyelenggaraan negara dan berbeda fungsinya dengan lembaga negara lainnya.
Selama ini ada persepsi yang menyatakan bahwa persoalan sistem perwakilan yang diterapkan selalu dikaitkan dengan bentuk Negara yang dianut. Negara yang bentuk negaranya kesatuan maka secara otomatis sistem perwakilannya unikameral, sedangkan Negara yang sistem perwakilannya bikameral maka bentuk negaranya federasi. Persepsi semacam itu kalau kemudian ditelaah secara cermat sesungguhnya tidak selalu benar. Penerapan sistem perwakilan lebih pada pertimbangan kebutuhan akan badan perwakilan rakyat dalam sebuah Negara untuk menjalankan fungsinya dengan baik.
Mencermati alasan-alasan perubahan pada saat itu, dapat dilihat ada dua hal yang mendasarinya yaitu alasan politik dan alasan hukum. Alasan politik mengemuka dikarenakan praktek ketatanegaraan yang selama ini berlangsung di Indonesia, dalam perspektif MPR yang “dibuat” seakan menjadi lembaga yang terkooptasi oleh kepentingan melanggengkan kekuasan dengan cara merekayasa regulasi seperti Tap MPR no. V Tahun 1998 tentang pemberian tugas dan wewenang khusus kepada Presiden mandataris MPR RI dalam rangka penyuksesan dan pengamanan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dalam Pemerintahan Presiden Soeharto. Dengan demikian dapat terlihat bahwa hukum sebagai produk politik direkayasa untuk kepentingan kekuasaan.Hal lain yang mendasarinya adalah adanya keinginan kuat agar lembaga perwakilan politik merepresentasikan kepentingan daerah melalui DPD dan perwakilan politik yaitu DPR. Alasan demikian cukup beralasan karena adanya sentralisasi pembangunan di wilayah Jawa saja sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi wilayah lainnya di Indonesia. Namun demikian tidak dapat dibantah bahwa amandemen terhadap UUD 1945 dalam atmosfer euforia dan tidak menerapkan prinsip kehati-hatian.
Salah satu kesepakatan dasar MPR dalam rangka amandemen terhadap UUD 1945 adalah mempertegas sistem pemerintahan Presidensial dan memperkuat sistem keseimbangan (checks and banlances) antar lembaga-lembaga negara, yang pada gilirannya secara bertahap menghasilkan pemerintahan yang demokratis dengan menggunakan prinsip-prinsip demokrasi dalam pelaksanaannya.