Mbok Randa pun merasa khawatir dan marah. Ia pergi ke padepokan Sinawang untuk mencari Menak Sopal dan gajah putihnya.
Di padepokan Sinawang, Mbok Randa bertemu dengan Menak Sopal dan menanyakan keberadaan gajah putihnya.
Menak Sopal pun mengaku bahwa ia telah menyembelih gajah putih itu untuk diberikan kepada buaya putih sebagai tebusan agar bendungan tidak rusak lagi. Mbok Randa tidak percaya dan mengamuk kepada Menak Sopal.
Menak Sopal pun berlari meninggalkan Mbok Randa yang terus mengejarnya. Mbok Randa kemudian bertemu dengan Ki Ageng Sinawang dan menceritakan apa yang terjadi.
Ki Ageng Sinawang pun memberikan penjelasan yang sama dengan Menak Sopal. Ia juga menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Menak Sopal adalah untuk kepentingan bersama masyarakat padepokan.
Setelah mendengar penjelasan Ki Ageng Sinawang, Mbok Randa pun merasa lega dan ikhlas. Ia menyadari bahwa gajah putihnya telah menjadi korban untuk kesejahteraan orang banyak.
Ia pun memaafkan Menak Sopal dan mengucapkan terima kasih kepada Ki Ageng Sinawang.
Ki Ageng Sinawang kemudian berkata bahwa jika suatu saat nanti padepokan Sinawang menjadi ramai dan berkembang menjadi sebuah kota, maka harus diberi nama “Teranging Galih”, yang berarti terangnya hati Mbok Randa yang telah rela mengorbankan gajah putihnya.
Kata “Teranging Galih” kemudian berubah menjadi “Trenggalek” seiring dengan perkembangan zaman.
Itulah mitos dan asal usul kota Trenggalek yang berasal dari kisah cinta antara Ki Ageng Sinawang dan Raden Ayu Saraswati, serta kisah heroik Menak Sopal yang berhadapan dengan buaya putih.
Kisah ini menunjukkan nilai-nilai luhur seperti pengorbanan, kesetiaan, dan keikhlasan yang patut diteladani oleh masyarakat Trenggalek.