MUI juga mengutip pendapat Syeikh Jalaluddin al-Suyuthi, seorang ulama terkemuka dari abad ke-15 Masehi, yang mengatakan bahwa hukum pelaksanaan Maulid Nabi SAW adalah bid’ah hasanah.
Syeikh al-Suyuthi menulis:
“Menurut saya, hukum pelaksanaan Maulid Nabi, yang mana pada hari itu masyarakat berkumpul, membaca Al-Qur’an, membaca kisah Nabi SAW pada permulaan perintah Nabi SAW, serta peristiwa yang terjadi pada saat beliau dilahirkan, kemudian mereka menikmati hidangan yang disajikan dan kembali pulang ke rumah masing-masing tanpa ada tambahan lainnya, adalah bid’ah hasanah.
Diberi pahala orang yang memperingatinya, karena bertujuan untuk mengangungkan Nabi SAW serta menunjukkan kebahagiaan atas kelahiran Beliau.”
MUI juga menyarankan agar dalam merayakan Maulid Nabi SAW tidak ada kegiatan yang diharamkan dan bertentangan dengan agama, seperti perbuatan syirik dan maksiat.
Jika demikian, maka perayaan tersebut bisa dikategorikan sebagai bid’ah yang buruk.
Sementara itu, menurut Buya Yahya, hukum merayakan Maulid Nabi SAW adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan).
Hal ini karena merayakan Maulid Nabi SAW merupakan bentuk syukur kepada Allah SWT atas nikmat-Nya yang telah mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Buya Yahya mengatakan bahwa merayakan Maulid Nabi SAW adalah sunnah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri.
Beliau bersabda:
“ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ”
Artinya: “Itu adalah hari aku dilahirkan, diangkat menjadi Nabi, dan diturunkannya kepadaku Al Quran (pertama kali),”
Buya Yahya menjelaskan bahwa hadits tersebut menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW merayakan kelahiran dan penerimaan wahyunya dengan cara berpuasa setiap hari kelahirannya, yaitu setiap hari senin.