Sebagai hasilnya, tugu ini dibangun mengikuti garis imajiner antara Gunung Merapi, Tugu, Keraton, dan Laut Selatan.
Bangunan aslinya memiliki tiang berbentuk silinder (gilig) yang mengerucut ke atas dan puncak berbentuk bulat (solong) dengan tinggi 25 meter.
Ini menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, konsep pemersatu rakyat dan penguasa.
Namun, pada 10 Juni 1867, gempa bumi melanda Yogyakarta dan meruntuhkan bangunan tugu.
Hal ini mengakibatkan hilangnya makna persatuan dalam struktur tugu.
Pada tahun 1889, pemerintah Belanda merenovasi tugu ini.