Semestinya persidangan RS.Ummi itu dilihat pemerintah sebagai “golden moment” untuk melupakan perbedaan yang lalu dan mendorong islah kerjasama dengan kelompok Islam untuk saling bahu-membahu memerangi Covid-19, “kata Herry.
Herry pun berharap upaya banding HRS atas vonis 4 tahun ke Pengadilan Tinggi, bisa disikapi Jokowi dan segilintir orang baik yang tersisa disekelilingnya , sebagai momentum menginisiasi proses”elegan” rekonsiliasi tanpa harus kedua pihak kehilangan muka dimata publik.
“Karena kuncinya dimata para romo yai dan ajengan di pedesaan persoalan pemenjaraan HRS yang dianggap mereka ‘zalim & lebay’.
Secara sosiologis kultural, para romo yai dan ajengan itu memiliki solidaritas antar ulama didasarkan iman dan spiritualitas tinggi, bukan karena solidaritas didasarkan “kursi jabatan”‘ seperti politisi, “jelas Herry.
Herry pun memahami tidaklah mudah bagi Jokowi menghadapi penolakan dan pertentangan dari oknum “inner circle” disekitarnya untuk “ishlah” dengan sebagian romo yai, ajengan dan ulama yang berseberangan.
“Saya masih optimis a few good man disekitar Jokowi paham bagaimana memulainya. Jika ini yang tidak segera dibenahi, maka mustahil pula bangsa ini bisa solid keluar dari pandemi dalam waktu cepat,
Prinsip rekonsiliasi tidak boleh ada “adigang-adigung kedua belah pihak, dan melihat permasalahan bangsa serta kemanusiaan bukan lagi urusan kewajiban salah satu pihak semata, “tegasnya.
Selain itu, Herry mengingatkan Jokowi mewaspadai konflik kecil yang muncul dibeberapa daerah terkait banyaknya bentrok pihak keamanan dalam penegakan aturan PPKM darurat dengan para pemilik warung kecil/UMKM dan pedagang yang sudah frustasi ditengah lilitan kesulitan ekonomi.
“Konflik sporadis petugas PPKM dan pedagang dibeberapa kota harus cepat-cepat direndam oleh Jokowi dan jajarannya dengan pendekatan hati dan empati, bukan pendekatan represif apalagi kekerasan.
Cukup dunia hanya sekali saja melihat aksi bakar diri Mohamed Bouazizi di Tunisia 2011, seorang pemuda tukang buah yang frustasi atas perlakuan petugas keamanan Tunisia terhadap warung dagangnya, “ungkapnya
Ia pun mendorong perlunya analisa inteljen sosio-politik-hankam yang lebih mendalam atas eksodusnya WN asing berkulit kuning & putih Taiwan, Jepang, Vietnam, Korea dan lain-lain ke negara asal.
” Eksodus ini harus dilihat tidak sekedar dari ‘kacamata’ kekhawatiran dan alasan klise dubes mereka yang disampaikan ke publik terkait merebaknya Covid 19 di Indonesia, karena dinegara asal mereka pun juga muncul keganasan covid 19 gelombang kedua.
Bisa saja ini merupakan “alert warning” negara asing kepada warganya atas potensi situasi sospolkam. Saya tidak mau berspekulasi jauh. Analisa dan pandangan intelejen negara asing terhadap RI perlu dicari tau.
Sejarah mencatat, bahwa musuh utama setiap raja berkuasa sejak jaman Majapahit hingga abad 20 di negara-negara berkembang, tidak selalu berasal dari kelompok luar lingkarannya yang demo sana-sani.
Tapi perlu disadari selalu ada, pihak yang mengintip kursi kekuasaan dari jarak yang dekat melalui ruang kaca yang berkabut “hasrat dan syahwat”.
Kita harus tetap jaga persatuan Rawat soliditas sebagai anak bangsa, jangan terkoyak. Kata Bang Napi, Waspdalah ! Waspadalah !, “pungkas Herry.