Indo1.id || selama kurun waktu beberapa tahun, bersama seluruh elemen masyarakat berupaya melakukan langkah pencegahan dengan menerapkan strategi pentahelix.
Indeks Risiko Terorisme di Indonesia antara tahun 2021 hingga 2022 mengalami penurunan hingga 51 persen. Target itu melebihi Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN). Demikian pula dengan Indeks Potensi Radikalisme yang mengalami penurunan menjadi 10 persen dari sebelumnya 12 persen bahkan 38 persen.
Penurunan tersebut dapat terjadi berkat adanya sinergi yang baik dengan seluruh elemen masyarakat, mulai dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang menerapkan strategi pentahelix, dengan melibatkan kementerian/lembaga, Pemda, akademisi, masyarakat bersama media yang berperan meresonansi nilai-nilai nasionalisme dan moderasi beragama.
Direktur Deradikalisasi BNPT Brigjen Pol Ahmad Nur Wahid menyampaikan, semua tindakan terorisme dapat dipastikan memiliki paham radikal. Namun tidak serta merta, mereka yang terpapar paham radikal, otomatis menjadi teroris.
“Seperti yang sudah dibubarkan (Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), meskipun radikal, tapi tidak termasuk teroris. Seseorang dikatakan teroris jika setelah berpaham radikal masuk ke dalam jaringan teror, yang tergabung dalam Daftar Terduga Terorisme dan Organisasi Terorisme (DTTOT) di antaranya Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharud Daulah (JAD) dan lainnya,” katanya, saat menjadi nara sumber utama dalam Sarasehan Kebangsaan Bersama Forkopimda Batang di Pendopo, Kabupaten Batang, Sabtu (25/2/2023).
Masyarakat harus memahami bahwa tindakan teroris diawali dengan adanya beberapa unsur yang telah terpenuhi. Yakni apabila ada kelompok yang terpapar paham radikal dengan indikasi anti-Pancasila, pro ideologi transnasionalisme, anti pemerintah yang sah, intoleransi dan mengkafirkan orang lain dan anti kearifan lokal yang didukung dengan bergabung dengan jaringan terorisme.