Kijang ini hanya bisa ditemui di Hutan Mojoroto.
Namun, perburuan Wiro gagal dan kijang itu melarikan diri dengan tombak yang masih menancap di tubuhnya.
Anak-anak Wiro Bastam, Joko Welas dan Roro Wilis, berusaha membantu ayah mereka dalam mencari kijang kencana yang terluka.
Saat dalam perjalanan ke Hutan Mojoroto, Joko Welas berduel dengan para pertapa di sebuah sendang karena adanya kesalahpahaman.
Sendang ini dipercaya berada di Desa Jolotundo, Kecamatan Jetis.
Di sisi lain, adiknya, Roro Wilis, terjebak di dalam sumur beracun di hutan Bendo, Jolotundo, akibat perangkap seorang nenek tua.
Kulit Roro Wilis menjadi berbintik-bintik hitam putih (blorok) karena kontak dengan air sumur beracun tersebut.
Ketika adik dan kakak akhirnya bertemu, Joko Welas tidak mengenali bahwa perempuan itu adalah adik kandungnya.
Kemudian, ayah mereka, Wiro Bastam, menghampiri mereka berdua.
Melihat kedua anaknya yang saling bertengkar, Wiro Bastam marah dan mengutuk keduanya menjadi batu.
Legenda ini menjadi salah satu cerita yang dikenal di wilayah Mojokerto, menciptakan mitos Watu Blorok yang menyimpan kisah kutukan yang berusia ratusan tahun.