Indo1.id – Berita tentang pameran Yos Suprapto yang dibredel telah memicu perdebatan luas di masyarakat.
Langkah pembredelan tersebut mengingatkan kita pada masa Orde Baru, di mana kebebasan berekspresi sering dibungkam demi stabilitas politik yang otoriter.
Apakah Indonesia akan kembali ke masa itu? Sebuah pertanyaan yang relevan dalam konteks saat ini, ketika kebebasan berpendapat diatur oleh konstitusi dan dianggap sebagai pilar demokrasi.
Ancaman terhadap Kebebasan Ekspresi
Pameran seni, seperti halnya karya Yos Suprapto, seringkali berfungsi sebagai medium untuk menyampaikan kritik sosial, politik, dan budaya.
Ketika pameran seni dibredel, kita menghadapi risiko penurunan ruang ekspresi yang sehat dan kritis.
Kebebasan berekspresi yang diatur dalam Pasal 28 UUD 1945 seharusnya menjadi landasan bagi masyarakat untuk berbicara dan berkreasi tanpa rasa takut.
Namun, apa yang terjadi saat kebebasan tersebut dibatasi? Jawabannya adalah potensi munculnya rasa takut di kalangan seniman dan intelektual, serta kecenderungan otoritarianisme yang berbahaya bagi keberlanjutan demokrasi.
Kembali ke Masa Orde Baru?
Pembredelan karya seni menciptakan kekhawatiran tentang apakah Indonesia sedang bergerak mundur ke era di mana kritik dianggap ancaman.
Orde Baru dikenal dengan pembatasan ketat terhadap segala bentuk kritik kepada pemerintah. Media dibungkam, pameran seni dilarang, dan suara-suara oposisi dipadamkan.
Di era Reformasi, rakyat berharap kebebasan berekspresi akan menjadi pilar demokrasi.