Dengan kandungan yang terdapat pada minyak masoi, maka tak heran minyak ini digunakan sebagai bagian dari penghasil cita rasa pada es krim, berbagai obat-obatan, dan kosmetik. Bahkan, minyak masoi telah dikembangkan menjadi produk perisa makanan.
Walaupun secara nasional belum dikenal luas, tetapi di beberapa tempat minyak atsiri tersebut mulai dikembangkan. Bahkan, produk masoi ini telah menembus pasar internasional untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dari tahun 2014-2017, produksi masoi Indonesia yang berasal dari Papua adalah 15-20 ton per tahun.
Untuk pasar internasional, harga minyak masoi berkisar antara Rp 2 hingga Rp 5 juta per kilogram. Variasi harga ditentukan oleh kadar lakton, terutama masoilakton yang terdapat pada produk.
Kandungan kadar masoilakton semakin tinggi maka harga semakin mahal. Pasar mengklasifikasikan kadar masoilakton dalam tiga tingkatan. Pertama yang memiliki kandungan masoilakton C10 sebanyak 45%-52%, kedua 60%-65%, dan ketiga 70%-75%. kadar kandungan masoilakton juga dijadikan indikasi mutu minyak atsiri masoi.
Pemerintah melalui Badan Standar Nasional (BSN) mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomer 7941:2013 sebagai pedoman mutu kulit masoi dan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomer 8285:2016 sebagai pedoman mutu minyak masoi.
Dengan adanya standar tersebut, dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan mutu dan kualitas produk, menyamakan persepsi terhadap mutu dan menghindari penipuan dari penjual.
Dengan telah diketahuinya kandungan yang terdapat pada minyak masoi, persebaran tumbuhan yang didominasi di wilayah Papua, serta adanya permintaan pasar internasional terhadap minyak masoi, maka sudah selayaknyalah pohon tersebut lebih didukung untuk pengembangan skala luas sebagai sumber devisa negara.
Membangun hutan tanaman masoi dalam skala luas baik berupa hutan rakyat maupun hutan tanaman industri menjadikan produk minyak masoi dapat berkelanjutan dan tidak bergantung pada pertumbuhan alami.