Pengamat UI : Perangi Covid-19, Saatnya Jokowi Rekonsiliasi Umaro & Kelompok Islam

  • Bagikan
Presiden RI Joko Widodo

Herry juga mengungkapkan perbincangannya dengan tokoh ulama dan ustad-ustad nahdiyin dikampung-kampung dibeberapa wilayah Jabar dan Jateng.

Herry memetakan  ketokohan dikalangan warga  nahdiyin menjad 2 (dua) jenis. Pertama, ketokohan  nahdiyin struktural ( didasari posisi di organisasi islam). Kedua ketokohan nahdiyin kultural yang ribuan jumlahnya dikampung-kampung yang mengajar ngaji di pesantren, memimpin majelis maulud dan ratib, dan menjadi tempat berkeluh kesah umat. 

” Nah, pimpinan nahdiyin kultural ini yang  berpengaruh  didesa-desa dengan basis khas pesantren mereka. Ketika sebagian para ulama, ajengan dan romo yai nahdiyin kecewa dengan sikap politik pemerintah menuntut ulama yang mereka hormati hingga 6 tahun untuk persoalan “covid gak covid”, maka ulama & kiai kultural  akan cenderung pasif dalam mensosialisasikan program pemerintah menangani wabah covid ditingkat akar rumput. 

Baca Juga :  Hari Ini Megawati Umumkan Ganjar Pranowo Jadi Capres PDIP? Ini Penjelasan Hasto!

“Bahkan luapan kekecewaan mereka terhadap pemerintah bukan lagi dilampiaskan demo teriak dijalan, tapi memilih jalan hening ditengah malam mendengungkan ke langit zikir  dan hizib “berenergi keras” seperti Wirid Sakran dan Hizb  Nashr.

Sebuah doa yang biasa dibaca para ulama dalam perang era kemerdekaan  memerangi  musuh dan membentengi diri sendiri serta ulama  disekitar mereka dari ancaman kesemena-menaan penjajah Belanda.

Bayangkan jika Tuhan lebih sering mendengar suara  Hizb dan zikir ribuan ulama, ajengan, dan santri  meminta perlindungan dari kezaliman lebih bergema dilangit tiap hari.

Dibanding jaranganya Tuhan  mendengar suara doa dan  permintaan tulus para ulama, ajengan , romo yai agar kekuatan-Nya dan dukungan-Nya dicurahkan kepada pemerintah dalam memerangi pandemi.

Baca Juga :  Jokowi: Indonesia Butuh Pemimpin yang Cerdas, Berani, dan Bernyali Demi Indonesia Emas 2045!

Ini ironi yang bikin merinding.
Karena mereka menganggap corona bukan ancaman nyata yang sedang dihadapi kelompok Islam., “tutur Herry

Herry pun menambahkan kurangnya tokoh nasional yang masih disegani oleh ulama-ulama, santri dan akar rumput nahdiyin diwilayah Jabar, Banten Jateng, Sumatera,  Sulawesi dan Jatim .

Bahkan tokoh sekelas Ma’ruf Amin ataupun Prabowo Subianto sudah tidak lagi didengar dikalangan mayoritas romo yai, santri dan ajengan berbasis kulutural. Akar rumput umat hanya mendengar ulama, ajengan, romo yai lingkungan setempat. 

“Yang ada sebagian kelompok Islam, ulama dan kiai merasakan , bahwa kelompok Islam makin termarginal ketika punya wapres dari kalangan ulama. Silence is golden but no one buys gold, it’s also a problem. Disini perlu  peran aktif Ma’ruf Amin mengembalikan kepercayaan para ulama kultural,  “kata Herry.

Baca Juga :  DPR Kebut Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) PPRT

Herry menambahkan bahwa pemerintah sebenarnya memiliki momen yang tepat saat proses persidangan HRS  di kasus RS Umi, untuk mencari “terobosan kompromi” dalam upaya bersama-sama ulama, ajengan  dan romo yai  membangun gerakan bersama memerangi Covid 19.

“Tapi sayang seribu sayang,

momen tersebut malah hilang,

dan justru makin memperuncing jarak

dengan kelompok ulama dan Islam,

ketika jaksa malah menuntut HRS 6 tahun untuk kasus “

covid gak covid”.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan