Namun, insiden seperti pembredelan pameran ini menunjukkan masih adanya resistensi terhadap kritik yang tajam. Demokrasi bukan hanya soal pemilu dan kebebasan memilih pemimpin, tetapi juga soal ruang untuk mengkritik dan berdiskusi tanpa rasa takut.
Apa yang Harus Dilakukan?
Jika Indonesia ingin mempertahankan statusnya sebagai negara demokratis, maka perlu ada komitmen kuat dari semua pihak, termasuk pemerintah, untuk menjamin kebebasan berekspresi.
Penegakan hukum yang adil, pemahaman bahwa seni adalah bentuk ekspresi, serta dialog terbuka antara seniman dan pemerintah menjadi sangat penting.
Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:
- Revisi kebijakan yang membatasi kebebasan seni agar tidak tumpang tindih dengan undang-undang yang seharusnya melindungi kebebasan berekspresi.
- Menciptakan forum dialog antara seniman dan pemerintah untuk membahas pandangan kritis dengan cara yang konstruktif.
- Menguatkan peran masyarakat sipil dalam mendukung kebebasan berekspresi sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Kesimpulan
Kasus pembredelan pameran Yos Suprapto menjadi pengingat bahwa kebebasan berekspresi masih rentan di Indonesia.
Jika dibiarkan, tindakan ini bisa menjadi preseden buruk bagi kebebasan berpendapat dan seni.
Harus ada kesadaran kolektif bahwa demokrasi membutuhkan kritik yang sehat, bukan penekanan terhadap suara-suara yang berbeda.
Demokrasi sejati adalah yang mampu menampung keragaman ekspresi dan kritik, bukan yang menutup ruang dialog.
Indonesia seharusnya bergerak maju dengan menghormati hak-hak fundamental, bukan mundur ke masa-masa represif.
Jika kita ingin menghindari kemunduran ke era Orde Baru, kita perlu mempertahankan dan melindungi kebebasan berekspresi, termasuk dalam seni dan budaya.***