Namun, setelah era reformasi dan pencabutan UU Anti Subversi Nomor 11/PNPS/1963, negara tidak lagi memiliki instrumen hukum untuk menindak gerakan dan organisasi ini.
Nurwakhid melanjutkan, meskipun terdapat keterkaitan historis antara Al Zaytun dan NII, BNPT tidak dapat secara langsung menjeratnya dengan UU Anti Teror.
“UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Nomor 5 Tahun 2018 hanya dapat diterapkan pada kelompok atau jaringan radikalisme yang terdaftar dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT), seperti Jemaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jemaah Ansharut Tauhid (JAT), dan lainnya,” jelasnya.
Menurut Nurwakhid, hingga saat ini NII belum termasuk dalam DTTOT sebelum ada penetapan oleh pengadilan.
“Oleh karena itu, melihat dari aspek sejarah, ideologi, dan gerakan yang masih ada hingga saat ini, kami mendorong agar NII dimasukkan ke dalam DTTOT sehingga dapat dijerat dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,” tambahnya.
Terkait penanganan kasus Al Zaytun, Nurwakhid mengatakan bahwa penanganan harus dilakukan secara holistik dan kolaboratif dengan menggunakan pendekatan hukum pidana umum maupun pidana khusus, sesuai dengan bukti-bukti yang cukup.
BNPT berperan dalam melakukan pengawasan dan pemantauan bersama lembaga terkait untuk mendalami keterkaitan Al Zaytun dengan jaringan NII.
“Namun, yang paling penting adalah mempertimbangkan upaya mitigasi dan pembinaan khusus terhadap para santri, serta menciptakan kondisi yang menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat,” pungkas Nurwakhid.